Selasa, 15 Januari 2013

Nama: Pitri Apriliani
Kelas:XII IPS 3



Pengindraan jauh




PENDAHULUAN
Keberadaan suatu wilayah tidak bisa terlepas dari adanya potensi bencana alam, sehingga harus siap pula untuk menghadapi bencana tersebut. Indonesia memiliki kondisi alam yang tergolong rawan terhadap bencana-bencana seperti gempa, tsunami, dan longsor. Namun bencana yang hampir terjadi pada setiap wilayah  di Indonesia adalah bencana longsor, karena sekitar 45% luas lahan di Indonesia adalah lahan pegunungan berlereng yang peka terhadap longsor dan erosi. Hal ini merupakan hambatan sekaligus tantangan bagi perencanaan  wilayah mengingat sebagaian besar wilayah kabupaten atau kota di Indonesia memiliki kawasan pegunungan. Namun kelerengan bukanlah penyebab utama  longsor di Indonesia, secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor dan erosi adalah faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam yang utama adalah kelerengan, curah hujan, dan geologi. Sedangkan faktor manusia adalah semua tindakan manusia yang dapat mempercepat terjadinya erosi dan longsor.





TABEL 1
SEBARAN DAN LUAS LAHAN PERBUKITAN-PEGUNUNGAN DI INDONESIA


Pulau
Luas lahan (000 ha)
Perbukitan (500 m dpl) tipe A
Perbukitan- pegunungan
(> 500 mdpl)
tipe B
Perbukitan- pegunungan
(> 500 mdpl)
tipe C

Total
Sumatera
4.432
814
9.992
15.238
Jawa, Madura
3.576
1.250
1.646
6.472
Kalimantan
3.992
8.055
10.471
22.518
Sulawesi
2.596
3.337
7.996
13.929
Maluku dan Nusa Tenggara
4.047
4.500
2.437
10.984
Papua
3.141
12.287
3.605
10.033
Total
21.784
30.243
36.147
88.174

Keterangan: Tipe A sangat terpencar; Tipe B bersambung tetapi dipisah oleh batas yang agak jelas;
Tipe C bersambung tetapi dipisah oleh batas yang sangat jelas.
Sumber: Statistik Sumberdaya Lahan Pertanian (Puslit Tanah dan Agroklimat, 1997)


PERUMUSAN MASALAH
Sebagian besar peristiwa longsor terjadi di daerah pegunungan yang memiliki kelerengan curam dan juga curah hujan yang tinggi. Keberadaan daerah rawan longsor selalu menjadi ancaman bagi kehidupan di sekitarnya, terutama masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan. Ironisnya, tidak sedikit pula masyarakat yang memilih untuk tinggal di daerah pegunungan karena potensi alam yang dimilikinya.
Identifikasi kawasan rawan longsor sangat diperlukan sebagai langkah awal untuk perencanaan tata ruang di masa mendatang. Keberadaan kawasan rawan longsor harus menjadi pertimbangan dalam proses penyusunan rencana tata ruang.  Identifikasi kawasan rawan longsor dengan menggunakan SIG akan lebih mudah dan cepat dalam prosesnya. Selain itu juga lebih mudah untuk dilakukan suatu perubahan apabila terdapat pembaruan data, sehingga dapat dihasilkan informasi yang lebih akurat.

TUJUAN
Penelitian  ini bertujuan untuk mengembangkan model SIG penentuan kawasan rawan longsor  yang akan dipergunakan untuk mengidentifikasi kawasan rawan longsor sebagai  masukan dalam rencana tata ruang dengan studi kasus Kabupaten Tegal.

SASARAN
1.       Mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait dengan bencana longsor
2.       Membangun model SIG
3.       Mengaplikasikan model SIG untuk identifikasi kawasan longsor.
4.       Memetakan tingkat kerawanan longsor pada wilayah studi
5.       Memetakan kesesuaian lahan pada kawasan rawan longsor
6.       Memberikan masukan untuk rencana tata ruang.

LANDASAN TEORITIS
Pemodelan penentuan kerawanan longsor dibuat dengan membagi masing-masing faktor ke dalam lima kriteria dengan nilai atau skor minimal 1 dan skor maksimal 5. Sedangkan untuk pembobotan faktor  kelerengan, geologi dan curah hujan masing-masing 20%, sedangkan faktor lainnya seperti kedalaman air tanah, laju infiltrasi, zona patahan dan penutup lahan yaitu 10%. Pembobotan tersebut didasarkan pada besarnya pengaruh terhadap terjadinya longsor di beberapa wilayah.

1.       Kelerengan / Kemiringan
Menurut Deptan, makin curam lereng makin besar pula volume dan kecepatan aliran permukaan yang berpotensi menyebabkan erosi. Selain kecuraman, panjang lereng juga menentukan besarnya longsor dan erosi. Makin panjang lereng, erosi yang terjadi makin besar. Adapun skoring dari faktor kelerengan dapat dilihat pada tabel berikut;

TABEL 2
SKORING FAKTOR KELERENGAN
Kelerengan (20%)
Keterangan
Skor
< 2%
datar
1
2 - 15%
berombak
2
15 - 25%
bergelombang
3
25 – 45%
berbukit
4
>45%
Bergunung, curam
5
Sumber: Kepmentan no.837 Th 1980


2.       Geologi
Ilmu geologi mencakup studi tentang tanah (soils) dan batuan (rocks). Tanah dapat terdiri atas bongkah, kerakal, kerikil, pasir (sand), lanau (silt), lempung (clay). Sedangkan jenis-jenis batuan (rocks) dapat meliputi breksi, konglomerat, sandstone (batupasir), siltstone (batulanau), dan claystone (batulempung) yang terbentuk dari unsur-unsur tanah (soils). Jenis-jenis batuan lainnya yaitu:
Ø  Aluvium
§  Aluvium Pantai: lempung, mengandung material organik, mudah digali, pemeabilitas rendah, jenuh air.
§  Aluvium Sungai: lempung, pasir, kerikil, kerakal, dengan komposisi andesitik - basaltik, lepas-lepas, mudah digali, permabilitas tinggi.
§  Aluvium Lembah: lempung tufan, pasir, lepas-lepas, mudah digali/permeabilitas sedang-tinggi, muka air tanah dangkal.


Ø  Endapan Pematang Pantai
Pasir halus dengan komposisi andesitik, mengandung fragmen cangkang, lepas-lepas, mudah digali, air tanah dangkal, terdapat air tanah segar.
Ø  Endapan Vulkanik Muda
Lempung tufan, pasir tufan, konglomerat, endapan lahar, pelapukan dalam, muka air tanah dalam.



 


TABEL 3

SKORING FAKTOR GEOLOGI

Klasifikasi Geologis
Periode Pembentukan
Deskripsi
Unsur Geologi
Skor
Qs
(Batuan Sedimen)
Pleistosen
Endapan Danau dan Sungai Tua :
pasir, lanau dan lempung
§ Aluvium muda
(berasal dari campuran endapan muara dan endapan sungai)
§ Aluvium, endapan kipas aluvial
(Aluvium muda berasal dari endapan gunung)
1
Qv
(Batuan Gunung Api)
Holosen
Batuan Gunung Api Muda :
lava. bom, lapili, dan abu
§ Tefra berbutir halus
§ Aluvium muda
(berasal dari endapan gunung berapi)
2
QTv
(Batuan Gunung
Api)
Pleistosen-
Pliosen
Tuf, tuf lapili, breksi dan lava bersifat andesit banyak mengandung pecahan batu apung
Tefra berbutir halus, tefra berbutir kasar
3
Tmv
(Batuan Gunung
Api)
Miosen Tengah
Breksi,aglomerat, tuf dan lava,
bersifat andesit basalt, mengandung sisipan batupasir, batulanau serpih dan batugamping.
Andesit,basalt, tefra berbutir halus, tefra berbutir kasar
4
Andesit, Basalt
5
Sumber : Putra, 2006 dan  modifikasi penyusun



3.       Curah Hujan
Hujan adalah peristiwa di mana titik air yang semula berupa uap-uap air yang berkumpul di udara yang jatuh ke permukaan bumi berupa cair atau pun padat. Curah hujan adalah salah satu unsur iklim yang besar perannya terhadap kejadian longsor dan erosi. Air hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah dan menjenuhi tanah menentukan terjadinya longsor, sedangkan pada kejadian erosi, air limpasan permukaan adalah unsur utama penyebab terjadinya erosi. Menurut Fornier (1972), diantara faktor energi yang paling berpotensial sebagai faktor utama terkait dengan terjadinya erosi tanah longsor  adalah energi kinetik air hujan dan limpasan permukaan.
Adapun skoring dari faktor curah hujan dapat dilihat pada tabel berikut;

TABEL 4
SKORING FAKTOR CURAH HUJAN
Curah hujan (20%)
Skor
<2000mm/th
1
2000-3000mm/th
2
3000-4000mm/th
3
4000-5000mm/th
4
>5000mm/th
5
Sumber: Fornier, 1972 dan modifikasi penyusun



4.       Kandungan Air Tanah
Menurut Tolman (1937) dalam Wiwoho (1999:26), ditinjau dari kedudukannya terhadap permukaan, air tanah dapat disebut:
(i)  air tanah dangkal (air bawah tanah tak tertekan), umumnya berasosiasi dengan akifer tak tertekan, yakni yang tersimpan dalam akuifer dekat permukaan hingga kedalaman 15 - 40 m.
(ii) air tanah dalam (air bawah tanah tertekan), umumnya berasosiasi dengan akifer tertekan, yakni tersimpan dalam akuifer pada kedalaman lebih dari 40 m. 
Adapun skoring dari faktor kedalaman air tanah dapat dilihat pada tabel berikut;

TABEL 4
SKORING FAKTOR KEDALAMAN AIR TANAH
Kedalaman Air Tanah (10%)
Keterangan
Skor
Air tanah dalam (>40m)
akifer tertekan
(air tanah produktif  sedang- langka)
1
Air tanah dangkal (<40m)
akifer tak tertekan
(air tanah produktif - sangat produktif)
5
Sumber: Wiwoho, 1999 dan modifikasi penyusun

5.       Laju Infiltrasi
Menurut Asdak (1995), infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tekstur tanah, struktur tanah, kelembaban awal, kegiatan biologi, dan vegetasi. Namun secara umum laju infiltrasi dipengaruhi oleh jenis tanah, dan penggunaan lahan.
·         Jenis Tanah
Perbedaan jenis tanah sangat berpengaruh terhadap laju infiltrasi suatu daerah. Tanah bertekstur geluh lebih tinggi infiltrasinya disbanding tekstur lempung. Menurut Siradz dkk dan Purnama (2004), jenis tanah yang memiliki laju infiltrasi tercepat  sampai dengan paling lambat secara berurutan yaitu alluvial (cepat), Litosol (cepat), Latosol-Litosol (sedang), Mediteran (sedang), dan Grumosol (lambat).
·         Penggunaan Tanah
Menurut Purnomo (2004), penggunaan lahan tegalan memiliki laju infiltrasi paling besar (cepat) karena intensitasnya yang jarang dilalui oleh manusia maupun hewan, sehingga tingkat pemampatan tanah juga rendah. Sedangkan Permukiman memiliki laju infiltrasi lebih rendah (sedang) dibandingkan dengan tegalan. Hal tersebut dikarenakan permukiman lebih tinggi kemampatannya. Laju infiltrasi terendah adalah pada areal persawahan (lambat), karena memiliki kelembaban tinggi akibat pengairan secara terus-menerus.
Adapun skoring dari faktor laju infiltrasi dapat dilihat pada tabel berikut;

TABEL 5
SKORING FAKTOR LAJU INFILTRASI
Laju Infiltrasi  (10%)
Keterangan
Skor
Lambat
Air hujan tidak mudah meresap ke dalam tanah
1
Sedang
Air hujan mudah meresap ke dalam tanah
3
Cepat
Air hujan sangat mudah meresap
5
Sumber: Asdak, 1995 dan modifikasi penyusun

6.       Zona Gempa
Menurut Kelarestaghi (2003), jarak optimal yang terpengaruh oleh adanya sesar/patahan dalam terjadinya longsor adalah sejauh 5.000 m. Artinya suatu wilayah dengan jangkauan luasan kurang lebih 5000 m dari garis sesar/patahan merupakan daerah yang rawan atau berpotensi untuk terjadi gempa. Adapun skoring zona patahan/gempa dapat dilihat pada tabel berikut;

TABEL 6
SKORING FAKTOR ZONA PATAHAN/GEMPA
Zona Gempa (10%)
Keterangan
Skor
Kawasan dalam jarak < 5000 m dari garis patahan
Zona rawan gempa
5
Kawasan dalam jarak >5000 m dari garis patahan
Zona bebas/aman  gempa
1
Sumber: Kelarestaghi, 2003 dan  modifikasi penyusun

7.       Penutup Lahan (Land Cover)
Penutupan lahan menurut Sven Theml (2006) dapat dibedakan menjadi permukiman dan tempat kegiatan, persawahan, perkebunan, tegalan/ladang, semak belukar, tanah kosong/gundul, bukit pasir, hutan, dan daerah perairan.
Adapun skoring dari faktor penutupan lahan dapat dilihat pada tabel berikut;

TABEL7
SKORING FAKTOR PENUTUPAN LAHAN
Penutupan Lahan (10%)
Skor
Hutan
1
Permukiman, Sawah, Perkebunan
2
Tegalan/ladang
3
Semak belukar
4
Bukit pasir, Tanah kosong
5
Sumber: Theml ,2006 dan modifikasi penyusun


METODOLOGI PENELITIAN

Metode Pengumpulan Data

-        Survai primer
Observasi visual, meliputi pemetaan, dan foto terhadap kawasan studi.
-        Survai Sekunder
Survai sekunder meliputi pengumpulan data–data berupa literatur melalui instansi–instansi yang terkait dengan identifikasi kawasan longsor, yaitu BAPEDA, BPN, BMG  dan  Dinas Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Air.

 

Metode Analisis

Metode yang digunakan adalah kuantitatif yang meliputi:
1.       Analisis Scoring
Analisis scoring dilakukan dengan pemberian skor berdasarkan karakteristik kriteria yang ada pada tiap variabel.
2.       Simulasi Model (Model Builder)
Simulasi model dalam penelitian ini merupakan sebuah model analisis berwujud sebuah aplikasi yang dibuat melalui software SIG (Sistem Informasi Geografis) yaitu  ArcView, Spatial Analist 2.0 khususnya ektension model builder. Kelebihan dari model builder adalah lebih mudah dipahami, dieksekusi, disimpan, dan dimodifikasi oleh pengguna.
3.       Deskriptif  Output Model Untuk Masukan Rencana Tata Ruang
Analisis selanjutnya berupa deskripsi dari output arithmetic overlay (evaluasi kesesuaian lahan), dengan tujuan untuk  memberikan masukan dalam rencana tata ruang secara umum pada wilayah studi, khususnya di daerah yang teridentifikasi  rawan longsor.


ANALISIS PENYUSUNAN MODEL SIG PENENTUAN KAWASAN RAWAN LONGSOR SEBAGAI MASUKAN RENCANA TATA RUANG

 

Analisis Skoring Karakteristik Fisik Alam Terkait Longsor
§  Analisis Kelerengan / Kemiringan
Pada wilayah bagian selatan Kabupaten Tegal  memiliki kelerengan yang curam. Sekitar 8% dari seluruh wilayah Kabupaten Tegal adalah kawasan dengan kelerengan lebih dari 45% yaitu sebagian wilayah Kecamatan Bumijawa dan Kecamatan Bojong. Kawasan tersebut juga berada pada ketinggian lebih dari 750 mdpl. Keadaan demikian menjadi salah satu pendorong terjadinya peristiwa longsor. Kawasan dengan kelerengan lebih dari 45% diberikan skor paling tinggi karena sifatnya yang rentan terhadap longsor. Hampir seluruh peristiwa longsor terjadi pada kawasan yang berlereng curam, seperti pada daerah pegunungan atau daerah sempadan sungai. Sedangkan skor terendah diberikan pada kawasan yang memiliki topografi datar atau kelerengan kurang dari 2% seperti pada sebagian Kecamatan Kramat, Kecamatan Suradadi, dan Kecamatan Warurejo. Skor tertinggi yang diberikan adalah 5 (lima) sedangkan skor terendah adalah 1 (satu).

§  Analisis Geologi
Keberadaan geologi di wilayah Kabupaten Tegal pada bagian utara seperti Kecamatan Kramat, Kecamatan Suradadi, dan Kecamatan Warurejo serta bagian barat seperti Kecamatan Margasari dan Kecamatan Pagerbarang terdiri atas aluvium, dimana pada jenis ini bersifat stabil atau tidak rentan terhadap longsor. Aluvium terdiri atas lempung, lanau, pasir dan kerikil. Lapisan ini mudah menyerap air dan berada pada kawasan pantai yang dimana morfologinya datar sehingga skor untuk lapisan geologi ini merupakan terendah yaitu 1 (satu) karena sifatnya yang paling stabil terhadap longsor.
Sedangkan lapisan dengan skor tertinggi yaitu 5 (lima) adalah lapisan hasil gunung api kwarter muda yang terdapat pada wilayah selatan Kabupaten Tegal yaitu Kecamatan bojong dan Bumijawa. Lapisan ini terdiri atas breksi, lava, tufa, aliran lava andesit batu pasir, dan bongkahan batuan gunung api. Formasi pada lapisan ini merupakan formasi labil, karena terdiri atas batupasir dan tanah berbutir halus. Sifatnya mudah menyerap air sehingga mudah jenuh air yang menyebabkan lapisan ini mudah labil dan terjadi longsor. Selain itu lapisan jenis ini juga terdapat pada daerah dengan kelerengan curam yang lebih dari 45%, sehingga semakin membuat labil terhadap longsor.

§  Analisis Curah Hujan
Suatu wilayah dengan curah hujan yang relatif besar namun terjadi dalam waktu yang singkat tidak berpengaruh besar dalam terjadinya peristiwa longsor. Sebaliknya juga, suatu wilayah dengan waktu hujan yang lama, namun curah hujan yang terjadi kecil tidak berpengaruh besar terhadap terjadinya peristiwa longsor. Curah hujan yang dapat mendorong terjadinya peristiwa longsor adalah curah hujan yang besar yang terjadi dalam waktu yang relatif lama. Sehingga data yang diperlukan untuk menentukan kerawanan longsor adalah curah hujan tahunan yang merupakan rata-rata hujan yang terjadi dalam waktu satu tahun.
Untuk wilayah Kabupaten Tegal, curah hujan yang tertinggi berada pada wilayah selatan yaitu Kecamatan Bojong dan Kecamatan Bumijawa dimana merupakan daerah kaki Gunung Slamet. Curah hujan tahunan pada daerah ini mencapai lebih dari 5000 mm. Hampir setiap hari terjadi hujan pada kawasan tersebut dan waktunya juga relatif lama. Sehingga pada kawasan ini diberikan skor tertinggi yaitu 5 (lima). Curah hujan semakin rendah menuju wilayah bagian utara Kabupaten Tegal. Curah hujan terendah adalah pada wilayah pantai Kabupaten Tegal seperti Kecamatan Kramat, Kecamatan Suradadi, dan Kecamatan Warurejo yaitu kurang dari 2000mm/th. Oleh sebab itu pada kawasan tersebut skor yang diberikan adalah terendah.

§  Analisis Kandungan Air Tanah
Sebagian besar wilayah Kabupaten Tegal bagian utara memiliki kandungan air tanah yang dangkal. Air tanah dangkal tersebut terdiri atas jenis akuifer dengan tingkat produktifias sampai dengan tinggi. Tingkat produktivitas yang tinggi tersebut dapat dilihat dari debit sumur antara 5-10 liter/detik. Tingkat produktivitas yang tinggi tersebut dapat berpengaruh pada kestabilan tanah terhadap longsor. Pada umumnya tanah yang memiliki kandungan air tanah dengan kedalaman < 40m (dangkal), cenderung jenuh air. Sehingga pada saat terjadi hujan, maka tingkat kejenuhan akan mencapai puncaknya sehingga tanah mudah labil dan mudah pula untuk terjadi longsor terutama pada daerah yang berkelerengan curam. Sehingga pada kawasan yang memiliki kandungan air tanah dangkal diberikan skor paling tinggi yaitu 5 (lima). Sedangkan kawasan air tanah dalam berada pada wilayah bagian timur sampai dengan selatan. Pada kawasan ini memiliki jenis akuifer dengan tingkat produktivitas rendah. Tingkat produktivitas yang rendah berarti debit sumur yang ada juga rendah yaitu <5 liter/detik. Sehingga pada kawasan ini bersifat mudah menyerap air. Apabila tejadi hujan maka sebagian besar air yang jatuh terserap (terinfiltrasi) ke dalam tanah. Keadaan demikian menyebabkan kawasan ini bersifat stabil dan tidak rentan longsor sehingga sekor yang diberikan adalah terendah yaitu 1 (satu).

§  Analisis Laju Infiltrasi
Untuk menentukan laju infiltrasi dapat dilihat dari jenis tanah dan penggunaan lahan. Berdasarkan  jenis tanah di Kabupaten Tegal, maka wilayah bagian utara dan selatan seperti Kecamatan Kramat, Kecamatan Suradadi, dan Kecamatan Warurejo, Kecamatan Tarub, Kecamatan Talang, Kecamatan Dukuhturi, dan Kecamatan Adiwerna memiliki tingkat infiltrasi yang paling tinggi karena merupakan jenis tanah alluvial dan litosol. Sedangkan tingkat infiltrasi lambat sampai dengan sedang berada pada wilayah tengah Kabupaten Tegal karena merupakan tanah jenis grumosol dan regosol. Skor untuk kategori lambat adalah 1 (satu), sedangkan kategori sedang 3 (tiga), dan untuk kategori cepat 5 (lima).
Sedangkan berdasarkan penggunaan lahannya, maka wilayah Kabupaten Tegal yang memiliki tingkat infiltrasi tinggi adalah pada wilayah bagian selatan khususnya kecamatan Bojong karena penggunaan lahanya berupa tegalan, dimana kerapatan tanahnya sangat kurang sehingga sangat mudah dan cepat menyerap air. Penggunaan lahan yang memiliki tingkat infiltrasi rendah adalah areal persawahan karena sifatnya yang jenuh air sehingga sukar untuk menyerap air. Kawasan ini berada pada wilayah utara dan barat kabupaten Tegal yaitu sebagian Kecamatan Kramat, Kecamatan Suradadi, dan Kecamatan Warurejo, Kecamatan Tarub, Kecamatan Talang, Kecamatan Dukuhturi, Kecamatan Adiwerna, Kecamatan Slawi, Kecamatan Lebaksiu, Kecamatan Pagerbarang dan Kecamatan Margasari. Pada wilayah tersebut sebagain besar penggunaan lahannya didominasi oleh persawahan. Skor untuk kategori lambat adalah 1 (satu), sedangkan kategori sedang 3 (tiga), dan untuk kategori cepat 5 (lima).
Dari kedua faktor tersebut maka dapat dibuat data mengenai tingkat infiltrasi di wilayah Kabupaten Tegal. Langkah yang dilakukan untuk menghasilkan data tersebut adalah dengan mengoverlay kedua peta tersebut dengan berdasarkan skor pengaruh terhadap infiltrasi yang terbagi menjadi lambat, sedang dan cepat. Dari hasil overlay tersebut maka didapat peta dengan informasi baru berupa peta tingkat infiltrasi di Kabupaten Tegal.
 





Untuk laju infiltrasi di Kabupaten Tegal berdasarkan overlay kedua peta diatas maka kawasan dengan tingkat infiltrasi tinggi berada pada sebagian wilayah utara kabupaten Tegal dan juga wilayah bagian selatan yaitu Kecamatan Bojong. Kawasan dengan tingkat infiltrasi tinggi maka diberikan skor tertinggi yaitu 5 (lima) karena pengaruhnya terhadap terjadinya longsor semakin kuat. Sedangkan skor terendah 1 (satu) diberikan untuk kawasan dengan tingkat infiltrasi rendah seperti pada sebagian besar wilayah Kecamatan Kedungbanteng, Kecamatan Margasari, dan Kecamatan Jatinegara.

§  Analisis Zona Gempa/Patahan
Daerah patahan atau sesar terdapat di Kecamatan Kedung Banteng dan Kecamatan Jatinegara yang membujur dengan  arah utara-selatan. Selain itu juga terdapat di Kecamatan Bumijawa dan Kecamatan Balapulang yang membujur ke arah Kecamatan Bojong. Keberadaan garis sesar ini mengakibatkan pada kawasan tersebut rentan terjadinya gerakan tanah sewaktu-waktu, sehingga mudah untuk membangkitkan terjadinya longsor.
Untuk mengetahui kawasan yang berada dalam bahaya sesar atau patahan maka perlu dilakukan zonasi kawasan patahan gempa. Menurut Kelarestaghi (2003), jarak optimal yang terpengaruh oleh adanya patahan dalam terjadinya longsor adalah sejauh 5.000 m.
Demikian juga dengan penentuan jarak gempa vulkanik. Berdasarkan karakteristik kasus yang pernah terjadi rata-rata jarak maksimal yang dijangkau oleh gempa akibat aktifitas vulkanik adalah antara 3000-5000m (studi kasus: Gempa di G.Dieng, Th.2002). Jadi dapat ditentukan zona gempa di wilayah Kabupaten Tegal dengan cara mem-buffer sejauh 5000m dari garis patahan dan dari titik puncak gunung itu sendiri.
Dari hasil zonasi sejauh 5000 meter dari garis patahan tersebut maka wilayah yang termasuk dalam zona rawan gempa meliputi Kecamatan Bumijawa, Kecamatan Bojong, Kecamatan Balapulang, Kecamatan Lebaksiu, Kecamatan Pangkah, Kecamatan Jatinegara, Kecamatan Kedung Banteng, dan Kecamatan Suradadi. Sehingga untuk penentuan skor maka wilayah tersebut berada pada skor tertinggi yaitu 5 (lima), sedangkan daerah diluar zona gempa merupakan zona aman sehingga skor yang diberikan 1 (satu).

§  Analisis Penutup Lahan
Penutup lahan berupa tegalan pada bagian selatan wilayah Kabupaten Tegal seperti Kecamatan Bojong semakin meningkatkan kerawanan terjadinya longsor disamping faktor-faktor lainnya. Penutup lahan berupa semak belukar dan tegalan yang mendominasi dapat mendorong terjadinya terjadinya ketidakstabilan tanah. Hal tersebut karena penutup lahan berupa tegalan dapat dengan mudah menyerap air yang mengakibatkan tanah jenuh air dan labil.. Sedangkan penutup berupa semak belukar memiliki kemampuan mengikat tanah yang tidak kuat sehingga tanah mudah labil. Sehingga untuk kawasan bagian selatan Kabupaten Tegal yang memiliki penutup lahan berupa semak belukar memiliki skor tertinggi yaitu 4 (empat). Sedangkan pada beberapa wilayah yang memiliki penutup lahan berupa hutan semakin memperkuat daya tahan dari terjadinya longsor.

Analisis Model GIS Penentuan Kawasan Rawan Longsor
§  Analisis Weighted Overlay Untuk Penentuan Kawasan Longsor
Proses overlay dengan menggunakan fungsi weighted overlay dilakukan dengan input data spasial terlebih dahulu yang dilengkapi dengan atribut keterangan dari masing-masing data spasial berupa variabel penentu rawan longsor. Weighted overlay dilakukan dengan cara memberikan pembobotan pada masing-masing variabel yang dianggap berpengaruh terhadap longsor. Pembobotan ini dilakukan untuk menunjukkan besarnya pengaruh dari tiap jenis variabel terhadap terjadinya longsor. Dalam weighted overlay pembobotan dinyatakan dalam persen (%) dimana jumlah total adalah 100%.

§  Sistem Pembobotan Variabel
Pembobotan pada tujuh jenis variabel penentu rawan longsor adalah sebagai berikut;
1.       Kelerengan (slope) memiliki bobot 30%
Pada setiap peristiwa longsor yang terjadi selalu berada pada kawasan yang berkelerengan curam. Suatu kawasan dengan faktor-faktor selain kelerengan yang sangat rentan longsor tidak begitu berpotensi terjadi longsor apabila berada pada wilayah yang datar. Namun sebaliknya, walaupun suatu kawasan dengan faktor-faktor selain kelerengan tidak rentan terhadap longsor (stabil), namun bila kelerengan kawasan tersebut sangat curam maka akan sangat  berpotensi terhadap terjadinya longsor. Sehingga dalam melakukan pembobotan maka kelerengan memiliki nilai tertinggi yaitu sebesar 30%.
2.       Curah hujan dan Geologi masing-masing memiliki bobot 20%
Pemicu utama terjadinya longsor biasanya adalah hujan deras yang terjadi dalam selang waktu cukup lama. Dalam beberapa peristiwa longsor yang terjadi sebagian besar didahului oleh hujan deras dan juga keberadaan formasi geologi yang bersifat labil dan mendukung terjadinya longsor. Namun dilihat dari pengaruhnya, faktor ini masih tetap dibawah peringkat kelerengan yang memiliki bobot paling tinggi, sehingga pembobotan untuk variabel curah hujan dan geologi adalah 20%.
3.       Laju Infiltrasi dan penutup lahan (land cover) memiliki bobot 10 %
Laju infiltrasi memiliki pengaruh yang cukup besar bagi terjadinya longsor karena terkait dengan kejenuhan tanah akan kandungan air. Demikian juga dengan penutup lahan yang turut memberikan pengaruh bagi terjadinya longsor. Perlakuan yang kurang baik pada suatu lahan dapat semakin meningkatkan potensi longsor yang terjadi. Namun pengaruh yang ditimbulkan tidak begitu besar seperti kelerengan, curah hujan dan geologi sehingga pembobotan untuk variabel laju infiltrasi dan penutup lahan lebih kecil dari ketiganya yaitu sebesar 10%.
4.       Zona gempa dan kandungan air tanah memiliki bobot 5%
Keberadaan zona gempa menyebabkan adanya potensi gangguan kestabilan pada suatu kawasan yang rentan terjadi longsor. Apabila zona tersebut aktif (terjadi pergeseran/ pergerakan) maka sangat berpotensi mengakibatkan longsor bagi kawasan yang memang sudah rentan terjadi longsor. Dari beberapa peristiwa longsor yang terjadi, zona gempa dan kandungan air tanah juga turut berpengaruh walaupun kecil. Kandungan air tanah tidak begitu berpengaruh kuat sebagai pemicu longsor, namun apabila ditambah dengan variabel pemicu longsor yang lainnya akan sangat berpengaruh bagi timbulnya longsor. Kedua faktor tersebut bersifat pasif, artinya tidak setiap saat dapat menimbulkan kerawanan, sehingga pembobotan untuk kedua variabel ini adalah sebesar 5%.



TABEL 9
KLASIFIKASI TINGKAT KERAWANAN LONGSOR
SKOR
KATEGORI
1
Aman
2
Aman
3
Agak Rawan
4
Sangat Rawan
5
Sangat Rawan
Sumber: Hasil Analisis Penyusun

GAMBAR 6
PETA TINGKAT KERAWANAN LONGSOR KABUPATEN TEGAL















Sumber: Hasil Analisis Penyusun






















Evaluasi Model
Evaluasi model dilakukan melalui dua cara yaitu observasi lapangan secara langsung (pengambilan gambar kawasan bekas longsor) dan juga dengan mengkaji peristiwa-peristiwa bencana longsor yang telah terjadi sebelumnya di Kabupaten Tegal.
Dari hasil observasi lapangan yang dilakukan, beberapa kawasan bekas longsor merupakan daerah yang termasuk dalam zona sangat rawan longsor sesuai dengan hasil model. Kawasan bekas longsor yang diobservasi langsung yaitu di Desa Guci-Kecamatan Bumijawa, Desa Bukateja-Kecamatan Balapulang, dan Desa Danasari-Kecamatan Jatinegara.
Sedangkan dari hasil kajian peristiwa longsor yang telah terjadi sebelumnya sebagian besar daerah-daerah yang terjadi longsor termasuk dalam kawasan sangat rawan longsor sesuai dengan yang dihasilkan model. Seperti peristiwa longsor yang terjadi di Desa kalibakung-Kecamatan Balapulang, Desa Padasari-Kecamatan Jatinegara, dan Desa Batumirah-Kecamatan Bumijawa. Selain itu juga dilakukan kajian peristiwa longsor yang terjadi di daerah sekitar perbatasan, yang secara geografis merupakan satu kesatuan kawasan dengan daerah yang dianggap sangat rawan longsor.

 






























Validasi Model

TABEL 10
UJI VALIDASI MODEL
NO
METODE EVALUASI
JML SAMPEL
KATEGORI
Benar
Salah
1
Survey Lapangan
(pengambilan gambar)
6
5
1
2
Media Surat
8
7
1
Jumlah
14
12
3
Sumber: Hasil Analisis Penyusun


 



 
=

=       12/14 x 100%
=       0.86

Dapat disimpulkan bahwa nilai validasi model adalah 0.86, yang berati dapat diterima. Semakin mendekati angka 1, maka model dapat dikatakan mendekati sempurna.

Analisis Arithmetic Overlay Untuk Evaluasi Rencana Tata Ruang (RTR)
Arithmathic overlay digunakan untuk mengoverlay peta kawasan rawan longsor yang telah dihasilkan dari weighted overlay dengan rencana tata ruang yang ada. Pada analisis  ini tidak perlu dilakukan pembobotan pada variabelnya karena hanya bersifat membandingkan.

TABEL 11
SKORING TINGKAT KERAWANAN LONGSOR
JENIS PETA
KETERANGAN
SKOR
Tingkat Kerawanan Longsor
Sangat Rawan
5
Agak Rawan
3
Aman
1
Rencana Tata Ruang
Permukiman, tegalan, lahan kosong, penambangan
5
Hutan, perkebunan, sawah,  dan penggunaan lainnya
1
Sumber: Hasil Analisis Penyusun


GAMBAR 8
PETA HASIL EVALUASI RENCANA TATA RUANG (RTR)
















Sumber: Hasil Analisis Penyusun

Dari hasil overlay tersebut dapat diketahui bahwa terdapat beberapa zona yang tidak sesuai dengan keberadaan daerah rawan longsor. Rencana penggunaan lahan yang tidak sesuai tersebut berupa permukiman atau kampung. Permukiman tersebut berada pada kawasan yang rawan longsor. Ketidaksesuaian tersebut terjadi karena memang sudah terdapat beberapa kawasan permukiman pada wilayah yang rawan longsor.

Kawasan Rawan Longsor Sebagai Masukan Rencana Tata Ruang
Penanganan untuk daerah dengan kategori sangat rawan longsor khususnya kawasan yang memiliki ketidaksesuaian penggunaan lahan dapat dilakukan melalui rekayasa fisik bangunan dan juga rekayasa vegetatif.
a.  Rekayasa Bangunan Fisik
Kawasan dengan kategori sangat rawan longsor memerlukan adanya rekayasa fisik untuk perencanaannya, sehingga pemanfaatan lahan seperti permukiman yang telah ada dapat diminimalisir tingkat kerawanan bencananya.



GAMBAR 9
CONTOH REKAYASA FISIK BANGUNAN PENAHAN LONGSOR


 







Sumber: ( Foto: F. Agus dan Widianto)  dalam Pedoman Umum Budidaya Pertanian  di Lahan Pegunungan
b. Rekayasa vegetatif
Keberadaan vegetasi dengan struktur dan komposisinya yang beragam dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia yaitu sebagai pengendali daur air. Mengurangi beban mekanik pohon-pohon yang besar-besar yang berakar dangkal dari kawasan yang curam dan menumpang di atas lapisan impermeabel.

GAMBAR 10
CONTOH REKAYASA VEGETATIF  PENGENDALIAN LONGSOR
Sumber: Suryatmojo, 2001

KESIMPULAN
Dari pembahasan yang dilakukan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan dari penelitian ini, antara lain
a.       Model penentuan kawasan rawan longsor mencakup beberapa variabel yaitu kelerengan, geologi, curah hujan, kandungan air tanah, laju infiltrasi, zona gempa, dan penutup lahan.
b.      Output model merupakan hasil overlay dari tujuh variabel skoring yang terdiri dari atas variabel kelerengan, geologi, curah hujan, kandungan air tanah, tingkat infiltrasi, zona gempa dan penutup lahan. Besarnya nilai skoring untuk tiap-tiap variabel adalah berkisar antara 1 sampai dengan 5, dengan ketentuan semakin besar skor maka semakin besar pula tingkat pengaruhnya terhadap bencana. Selain skoring juga dilakukan pembobotan terhadap masing-masing variabel berdasarkan pengaruhnya terhadap terjadinya bencana. Pembobotan paling besar diberikan pada variabel kelerengan yaitu sebesar 30%, kemudian untuk variabel geologi dan curah hujan sebesar 20%, variabel tingkat infiltrasi dan penutup lahan sebesar 10% dan variabel zona gempa dan kandungan air tanah sebesar 5%.
c.       Dari hasil uji validasi model didapatkan nilai validasi yaitu 0.86 dalam skala 0-1, dimana semakin mendekati 1 maka semakin sempurna.
d.      Berdasarkan aplikasi model yang diterapkan di Kabupaten Tegal, dihasilkan peta tingkat kerawanan longsor, diketahui bahwa 4% lahan dari keseluruhan luas wilayah Kabupaten Tegal merupakan kawasan yang rawan longsor dengan kategori sangat rawan. Kawasan rawan longsor dengan kategori sangat rawan tersebut kurang lebih memiliki luasan 3.600 Ha. Kawasan tersebut meliputi:

TABEL 12
PEMBAGIAN KAWASAN MENURUT TINGKAT KERAWANAN LONGSOR
DI KABUPATEN TEGAL
NO
KATEGORI
KECAMATAN
DESA
1
KAWASAN SANGAT RAWAN
Bojong
Dukuh Tengah, Rembul, Tuwel, Kedawung, Gunung Jati, Kalijambu, Cikura, dan Danasari.
Bumijawa
Carul, Cawitari, Soka Tengah, Sokasari, Sumbaga, Pager Kasih, Jejeg, Gunung Agung, Cempaka, Dukuh Benda, Batumirah, Sigedong, Guci, dan Bumijawa
Balapulang
Bukateja, Kalibakung, Cilongok, dan Tembongwah.
Jatinegara
Padasri, Kedungwungu, Setail dan Gantungan.
Margasari
Desa Danaraja
2
KAWASAN AGAK RAWAN
Warureja
Hampir seluruh desa di Kecamatan Warurejo dan Kecamatan Kedungbanteng merupakan kategori agak rawan
Kedungbanteng
Jatinegara
Balapulang
Margasari
Bojong
Bumijawa
3
KAWASAN AMAN
Bojong
Hampir seluruh desa merupakan kategori aman
Pangkah
Slawi
Dukuhwaru
Adiwerna
Dukuhturi
Talang
Tarub
Kramat
Lebaksiu
Warureja

REKOMENDASI
Rekomendasi yang dihasilkan dalam penelitian ini antara lain
a.       Peranan data sangatlah penting disamping faktor kriteria dan pembobotan yang dilakukan.
b.      Rencana tata ruang selalu dibuat dengan mempertimbangkan berbagai faktor salah satunya adalah kawasan rawan bencana.
c.       Penelitian ini sebagai awal dari penelitian yang perlu dilakukan selanjutnya seperti menentukan tingkat infiltrasi suatu kawasan yang lebih akurat, sehingga data yang menjadi input juga semakin akurat dan menghasilkan output yang lebih baik.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar