Nama: Pitri Apriliani
Kelas:XII IPS 3
=
Sumber: Suryatmojo, 2001
Kelas:XII IPS 3
Pengindraan jauh
PENDAHULUAN
Keberadaan suatu
wilayah tidak bisa terlepas dari adanya potensi bencana alam, sehingga harus
siap pula untuk menghadapi bencana tersebut. Indonesia memiliki kondisi alam
yang tergolong rawan terhadap bencana-bencana seperti gempa, tsunami, dan
longsor. Namun bencana yang hampir terjadi pada setiap wilayah di Indonesia adalah bencana longsor, karena
sekitar 45% luas lahan di Indonesia adalah lahan pegunungan berlereng yang peka
terhadap longsor dan erosi. Hal ini merupakan hambatan sekaligus tantangan bagi
perencanaan wilayah mengingat sebagaian
besar wilayah kabupaten atau kota di Indonesia memiliki kawasan pegunungan.
Namun kelerengan bukanlah penyebab utama longsor di Indonesia, secara
umum faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor dan erosi adalah faktor
alam dan faktor manusia. Faktor alam yang utama adalah kelerengan, curah hujan,
dan geologi. Sedangkan faktor manusia
adalah semua tindakan manusia yang dapat mempercepat terjadinya erosi dan
longsor.
TABEL
1
SEBARAN DAN LUAS LAHAN PERBUKITAN-PEGUNUNGAN DI INDONESIA
Pulau
|
Luas
lahan (000 ha)
|
|||
Perbukitan (500 m dpl) tipe A
|
Perbukitan- pegunungan
(> 500 mdpl) tipe B |
Perbukitan- pegunungan
(> 500 mdpl) tipe C |
Total
|
|
Sumatera
|
4.432
|
814
|
9.992
|
15.238
|
Jawa, Madura
|
3.576
|
1.250
|
1.646
|
6.472
|
Kalimantan
|
3.992
|
8.055
|
10.471
|
22.518
|
Sulawesi
|
2.596
|
3.337
|
7.996
|
13.929
|
Maluku
dan Nusa Tenggara
|
4.047
|
4.500
|
2.437
|
10.984
|
Papua
|
3.141
|
12.287
|
3.605
|
10.033
|
Total
|
21.784
|
30.243
|
36.147
|
88.174
|
Keterangan: Tipe A sangat terpencar; Tipe B
bersambung tetapi dipisah oleh batas yang agak jelas;
Tipe C bersambung tetapi dipisah oleh batas
yang sangat jelas.
Sumber: Statistik Sumberdaya Lahan Pertanian
(Puslit Tanah dan Agroklimat, 1997)
PERUMUSAN MASALAH
Sebagian besar
peristiwa longsor terjadi di daerah pegunungan yang memiliki kelerengan curam
dan juga curah hujan yang tinggi. Keberadaan daerah rawan longsor selalu
menjadi ancaman bagi kehidupan di sekitarnya, terutama masyarakat yang tinggal
di daerah pegunungan. Ironisnya, tidak sedikit pula masyarakat yang memilih
untuk tinggal di daerah pegunungan karena potensi alam yang dimilikinya.
Identifikasi
kawasan rawan longsor sangat diperlukan sebagai langkah awal untuk perencanaan
tata ruang di masa mendatang. Keberadaan kawasan rawan longsor harus menjadi
pertimbangan dalam proses penyusunan rencana tata ruang. Identifikasi kawasan rawan longsor dengan
menggunakan SIG akan lebih mudah dan cepat dalam prosesnya. Selain itu juga
lebih mudah untuk dilakukan suatu perubahan apabila terdapat pembaruan data,
sehingga dapat dihasilkan informasi yang lebih akurat.
TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model SIG
penentuan kawasan rawan longsor yang
akan dipergunakan untuk mengidentifikasi kawasan rawan longsor sebagai masukan dalam rencana tata ruang dengan studi
kasus Kabupaten Tegal.
SASARAN
1.
Mengidentifikasi
faktor-faktor yang terkait dengan bencana longsor
2. Membangun model SIG
3. Mengaplikasikan model
SIG untuk identifikasi kawasan longsor.
4. Memetakan tingkat
kerawanan longsor pada wilayah studi
5.
Memetakan kesesuaian lahan
pada kawasan rawan longsor
6.
Memberikan masukan untuk
rencana tata ruang.
LANDASAN
TEORITIS
Pemodelan penentuan
kerawanan longsor dibuat dengan membagi masing-masing faktor ke dalam lima
kriteria dengan nilai atau skor minimal 1 dan skor maksimal 5. Sedangkan untuk
pembobotan faktor kelerengan, geologi
dan curah hujan masing-masing 20%, sedangkan faktor lainnya seperti kedalaman
air tanah, laju infiltrasi, zona patahan dan penutup lahan yaitu 10%. Pembobotan
tersebut didasarkan pada besarnya pengaruh terhadap terjadinya longsor di
beberapa wilayah.
1. Kelerengan / Kemiringan
Menurut Deptan,
makin curam lereng makin besar pula volume dan kecepatan aliran permukaan yang
berpotensi menyebabkan erosi. Selain kecuraman, panjang lereng juga menentukan
besarnya longsor dan erosi. Makin panjang lereng, erosi yang terjadi makin besar.
Adapun skoring dari faktor kelerengan dapat dilihat pada tabel berikut;
TABEL 2
SKORING FAKTOR KELERENGAN
Kelerengan (20%)
|
Keterangan
|
Skor
|
< 2%
|
datar
|
1
|
2 - 15%
|
berombak
|
2
|
15 - 25%
|
bergelombang
|
3
|
25 – 45%
|
berbukit
|
4
|
>45%
|
Bergunung, curam
|
5
|
Sumber: Kepmentan no.837 Th 1980
2. Geologi
Ilmu geologi mencakup studi tentang tanah (soils) dan batuan (rocks). Tanah dapat terdiri atas bongkah, kerakal, kerikil, pasir (sand), lanau (silt), lempung (clay).
Sedangkan jenis-jenis batuan (rocks)
dapat meliputi breksi, konglomerat, sandstone
(batupasir), siltstone (batulanau),
dan claystone (batulempung) yang
terbentuk dari unsur-unsur tanah (soils).
Jenis-jenis
batuan lainnya yaitu:
Ø Aluvium
§ Aluvium Pantai: lempung, mengandung material
organik, mudah digali, pemeabilitas rendah, jenuh air.
§ Aluvium Sungai: lempung, pasir, kerikil, kerakal,
dengan komposisi andesitik - basaltik, lepas-lepas, mudah digali, permabilitas
tinggi.
§ Aluvium Lembah: lempung tufan, pasir, lepas-lepas,
mudah digali/permeabilitas sedang-tinggi, muka air tanah dangkal.
Ø Endapan Pematang Pantai
Pasir halus dengan komposisi andesitik, mengandung
fragmen cangkang, lepas-lepas, mudah digali, air tanah dangkal, terdapat air
tanah segar.
Ø Endapan Vulkanik Muda
Lempung tufan, pasir tufan, konglomerat, endapan
lahar, pelapukan dalam, muka air tanah dalam.
TABEL 3
SKORING FAKTOR GEOLOGI
Klasifikasi Geologis
|
Periode Pembentukan
|
Deskripsi
|
Unsur Geologi
|
Skor
|
Qs
(Batuan Sedimen)
|
Pleistosen
|
Endapan Danau dan Sungai Tua :
pasir, lanau dan lempung
|
§
Aluvium muda
(berasal dari campuran endapan muara dan endapan
sungai)
§
Aluvium, endapan kipas
aluvial
(Aluvium muda berasal dari endapan gunung)
|
1
|
Qv
(Batuan Gunung Api)
|
Holosen
|
Batuan Gunung Api Muda :
lava. bom, lapili, dan abu
|
§
Tefra berbutir halus
§
Aluvium muda
(berasal dari endapan gunung berapi)
|
2
|
QTv
(Batuan Gunung
Api)
|
Pleistosen-
Pliosen
|
Tuf, tuf lapili, breksi dan lava bersifat andesit banyak mengandung
pecahan batu apung
|
Tefra berbutir halus, tefra berbutir kasar
|
3
|
Tmv
(Batuan Gunung
Api)
|
Miosen Tengah
|
Breksi,aglomerat, tuf dan lava,
bersifat andesit basalt, mengandung sisipan batupasir, batulanau serpih
dan batugamping.
|
Andesit,basalt, tefra berbutir halus, tefra berbutir kasar
|
4
|
Andesit,
Basalt
|
5
|
Sumber : Putra,
2006 dan modifikasi penyusun
3.
Curah Hujan
Hujan adalah peristiwa di mana titik air yang
semula berupa uap-uap air yang berkumpul di udara yang jatuh ke permukaan bumi
berupa cair atau pun padat. Curah hujan adalah salah satu unsur iklim yang
besar perannya terhadap kejadian longsor dan erosi. Air hujan yang
terinfiltrasi ke dalam tanah dan menjenuhi tanah menentukan terjadinya longsor,
sedangkan pada kejadian erosi, air limpasan permukaan adalah unsur utama
penyebab terjadinya erosi. Menurut Fornier (1972), diantara faktor energi yang
paling berpotensial sebagai faktor utama terkait dengan terjadinya erosi tanah
longsor adalah energi kinetik air hujan
dan limpasan permukaan.
Adapun skoring dari faktor curah hujan dapat
dilihat pada tabel berikut;
TABEL
4
SKORING
FAKTOR CURAH HUJAN
Curah hujan (20%)
|
Skor
|
<2000mm/th
|
1
|
2000-3000mm/th
|
2
|
3000-4000mm/th
|
3
|
4000-5000mm/th
|
4
|
>5000mm/th
|
5
|
Sumber: Fornier, 1972 dan modifikasi penyusun
4. Kandungan Air Tanah
Menurut Tolman
(1937) dalam Wiwoho (1999:26), ditinjau dari kedudukannya terhadap permukaan, air tanah
dapat disebut:
(i) air tanah
dangkal (air bawah tanah tak tertekan), umumnya berasosiasi dengan akifer tak
tertekan, yakni yang tersimpan dalam akuifer dekat permukaan hingga kedalaman
15 - 40 m.
(ii) air tanah dalam (air bawah tanah tertekan), umumnya
berasosiasi dengan akifer tertekan, yakni tersimpan dalam akuifer pada
kedalaman lebih dari 40 m.
Adapun skoring dari
faktor kedalaman air tanah dapat dilihat pada tabel berikut;
TABEL
4
SKORING
FAKTOR KEDALAMAN AIR TANAH
Kedalaman Air Tanah (10%)
|
Keterangan
|
Skor
|
Air tanah dalam
(>40m)
|
akifer tertekan
(air tanah
produktif sedang- langka)
|
1
|
Air tanah dangkal (<40m)
|
akifer tak tertekan
(air tanah produktif - sangat produktif)
|
5
|
Sumber: Wiwoho, 1999 dan modifikasi penyusun
5.
Laju Infiltrasi
Menurut Asdak (1995), infiltrasi dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti tekstur tanah, struktur tanah, kelembaban awal, kegiatan
biologi, dan vegetasi. Namun secara umum laju infiltrasi dipengaruhi oleh jenis
tanah, dan penggunaan lahan.
·
Jenis
Tanah
Perbedaan jenis tanah sangat berpengaruh
terhadap laju infiltrasi suatu daerah. Tanah bertekstur geluh lebih tinggi
infiltrasinya disbanding tekstur lempung. Menurut Siradz dkk dan Purnama
(2004), jenis tanah yang memiliki laju infiltrasi tercepat sampai dengan paling lambat secara berurutan
yaitu alluvial (cepat), Litosol (cepat), Latosol-Litosol (sedang), Mediteran
(sedang), dan Grumosol (lambat).
·
Penggunaan
Tanah
Menurut Purnomo (2004), penggunaan lahan
tegalan memiliki laju infiltrasi paling besar (cepat) karena intensitasnya yang
jarang dilalui oleh manusia maupun hewan, sehingga tingkat pemampatan tanah
juga rendah. Sedangkan Permukiman memiliki laju infiltrasi lebih rendah
(sedang) dibandingkan dengan tegalan. Hal tersebut dikarenakan permukiman lebih
tinggi kemampatannya. Laju infiltrasi terendah adalah pada areal persawahan
(lambat), karena memiliki kelembaban tinggi akibat pengairan secara
terus-menerus.
Adapun skoring dari faktor laju infiltrasi
dapat dilihat pada tabel berikut;
TABEL
5
SKORING
FAKTOR LAJU INFILTRASI
Laju Infiltrasi
(10%)
|
Keterangan
|
Skor
|
Lambat
|
Air hujan tidak mudah
meresap ke dalam tanah
|
1
|
Sedang
|
Air hujan mudah
meresap ke dalam tanah
|
3
|
Cepat
|
Air hujan sangat mudah
meresap
|
5
|
Sumber: Asdak, 1995 dan modifikasi penyusun
6.
Zona Gempa
Menurut Kelarestaghi (2003), jarak optimal yang
terpengaruh oleh adanya sesar/patahan dalam terjadinya longsor adalah sejauh
5.000 m. Artinya suatu wilayah dengan jangkauan luasan kurang lebih 5000 m dari
garis sesar/patahan merupakan daerah yang rawan atau berpotensi untuk terjadi
gempa. Adapun skoring zona patahan/gempa dapat dilihat pada
tabel berikut;
TABEL 6
SKORING FAKTOR ZONA
PATAHAN/GEMPA
Zona Gempa (10%)
|
Keterangan
|
Skor
|
Kawasan
dalam jarak < 5000 m dari garis patahan
|
Zona
rawan gempa
|
5
|
Kawasan
dalam jarak >5000 m dari garis patahan
|
Zona
bebas/aman gempa
|
1
|
Sumber: Kelarestaghi, 2003
dan modifikasi penyusun
7.
Penutup Lahan (Land Cover)
Penutupan lahan
menurut Sven Theml (2006) dapat dibedakan menjadi permukiman dan
tempat kegiatan, persawahan, perkebunan, tegalan/ladang, semak belukar, tanah
kosong/gundul, bukit pasir, hutan, dan daerah perairan.
Adapun skoring dari
faktor penutupan lahan dapat dilihat pada tabel berikut;
TABEL7
SKORING
FAKTOR PENUTUPAN LAHAN
Penutupan Lahan (10%)
|
Skor
|
Hutan
|
1
|
Permukiman,
Sawah, Perkebunan
|
2
|
Tegalan/ladang
|
3
|
Semak
belukar
|
4
|
Bukit
pasir, Tanah kosong
|
5
|
Sumber: Theml ,2006 dan modifikasi penyusun
METODOLOGI PENELITIAN
Metode Pengumpulan Data
-
Survai
primer
Observasi visual, meliputi
pemetaan, dan foto terhadap kawasan studi.
-
Survai
Sekunder
Survai sekunder meliputi
pengumpulan data–data berupa literatur melalui instansi–instansi yang terkait
dengan identifikasi kawasan longsor, yaitu BAPEDA, BPN, BMG dan
Dinas Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Air.
Metode Analisis
Metode yang
digunakan adalah kuantitatif yang meliputi:
1.
Analisis Scoring
Analisis scoring
dilakukan dengan pemberian skor berdasarkan karakteristik kriteria yang ada
pada tiap variabel.
2.
Simulasi Model (Model Builder)
Simulasi model
dalam penelitian ini merupakan sebuah model analisis berwujud sebuah aplikasi
yang dibuat melalui software SIG
(Sistem Informasi Geografis) yaitu ArcView, Spatial Analist 2.0 khususnya ektension
model builder. Kelebihan dari model builder adalah lebih mudah dipahami,
dieksekusi, disimpan, dan dimodifikasi oleh pengguna.
3.
Deskriptif Output Model Untuk Masukan Rencana Tata Ruang
Analisis selanjutnya
berupa deskripsi dari output arithmetic
overlay (evaluasi kesesuaian lahan), dengan tujuan untuk memberikan masukan dalam rencana tata ruang
secara umum pada wilayah studi, khususnya di daerah yang teridentifikasi rawan longsor.
ANALISIS PENYUSUNAN MODEL SIG PENENTUAN KAWASAN RAWAN
LONGSOR SEBAGAI MASUKAN RENCANA TATA RUANG
Analisis Skoring Karakteristik Fisik Alam Terkait Longsor
§ Analisis Kelerengan /
Kemiringan
Pada wilayah bagian
selatan Kabupaten Tegal memiliki
kelerengan yang curam. Sekitar 8% dari seluruh wilayah Kabupaten Tegal adalah
kawasan dengan kelerengan lebih dari 45% yaitu sebagian wilayah Kecamatan
Bumijawa dan Kecamatan Bojong. Kawasan tersebut juga berada pada ketinggian
lebih dari 750 mdpl. Keadaan demikian menjadi salah satu pendorong terjadinya
peristiwa longsor. Kawasan dengan kelerengan lebih dari 45% diberikan skor
paling tinggi karena sifatnya yang rentan terhadap longsor. Hampir seluruh
peristiwa longsor terjadi pada kawasan yang berlereng curam, seperti pada daerah
pegunungan atau daerah sempadan sungai. Sedangkan skor terendah diberikan pada
kawasan yang memiliki topografi datar atau kelerengan kurang dari 2% seperti
pada sebagian Kecamatan Kramat, Kecamatan Suradadi, dan Kecamatan Warurejo. Skor tertinggi yang diberikan adalah 5 (lima) sedangkan skor terendah
adalah 1 (satu).
§ Analisis Geologi
Keberadaan geologi
di wilayah Kabupaten Tegal pada bagian utara seperti Kecamatan Kramat, Kecamatan
Suradadi, dan Kecamatan Warurejo serta bagian barat seperti Kecamatan Margasari
dan Kecamatan Pagerbarang terdiri atas aluvium, dimana pada jenis ini bersifat
stabil atau tidak rentan terhadap longsor. Aluvium terdiri atas lempung, lanau,
pasir dan kerikil. Lapisan ini mudah menyerap air dan berada pada kawasan
pantai yang dimana morfologinya datar sehingga skor untuk lapisan geologi ini
merupakan terendah yaitu 1 (satu) karena sifatnya yang paling stabil terhadap
longsor.
Sedangkan lapisan
dengan skor tertinggi yaitu 5 (lima) adalah lapisan hasil gunung api kwarter
muda yang terdapat pada wilayah selatan Kabupaten Tegal yaitu Kecamatan bojong
dan Bumijawa. Lapisan ini terdiri atas breksi, lava, tufa, aliran lava
andesit batu pasir, dan bongkahan batuan gunung api. Formasi pada lapisan ini
merupakan formasi labil, karena terdiri atas batupasir dan tanah berbutir
halus. Sifatnya mudah menyerap air sehingga mudah jenuh air yang menyebabkan
lapisan ini mudah labil dan terjadi longsor. Selain itu lapisan jenis ini juga
terdapat pada daerah dengan kelerengan curam yang lebih dari 45%, sehingga
semakin membuat labil terhadap longsor.
§ Analisis Curah Hujan
Suatu wilayah
dengan curah hujan yang relatif besar namun terjadi dalam waktu yang singkat
tidak berpengaruh besar dalam terjadinya peristiwa longsor. Sebaliknya juga,
suatu wilayah dengan waktu hujan yang lama, namun curah hujan yang terjadi
kecil tidak berpengaruh besar terhadap terjadinya peristiwa longsor. Curah
hujan yang dapat mendorong terjadinya peristiwa longsor adalah curah hujan yang
besar yang terjadi dalam waktu yang relatif lama. Sehingga data yang diperlukan
untuk menentukan kerawanan longsor adalah curah hujan tahunan yang merupakan
rata-rata hujan yang terjadi dalam waktu satu tahun.
Untuk wilayah
Kabupaten Tegal, curah hujan yang tertinggi berada pada wilayah selatan yaitu
Kecamatan Bojong dan Kecamatan Bumijawa dimana merupakan daerah kaki Gunung Slamet.
Curah hujan tahunan pada daerah ini mencapai lebih dari
5000 mm. Hampir setiap hari terjadi hujan pada kawasan tersebut dan waktunya
juga relatif lama. Sehingga pada kawasan ini diberikan skor tertinggi yaitu 5
(lima). Curah hujan semakin rendah menuju wilayah bagian utara Kabupaten Tegal.
Curah hujan terendah adalah pada wilayah pantai Kabupaten Tegal seperti
Kecamatan Kramat, Kecamatan Suradadi, dan Kecamatan Warurejo yaitu kurang dari
2000mm/th. Oleh sebab itu pada kawasan tersebut skor yang diberikan adalah
terendah.
§ Analisis Kandungan Air
Tanah
Sebagian besar
wilayah Kabupaten Tegal bagian utara memiliki kandungan air tanah yang dangkal.
Air tanah dangkal tersebut terdiri atas jenis akuifer dengan tingkat
produktifias sampai dengan tinggi. Tingkat produktivitas yang tinggi tersebut
dapat dilihat dari debit sumur antara 5-10 liter/detik. Tingkat produktivitas
yang tinggi tersebut dapat berpengaruh pada kestabilan tanah terhadap longsor.
Pada umumnya tanah yang memiliki kandungan air tanah dengan kedalaman < 40m
(dangkal), cenderung jenuh air. Sehingga pada saat terjadi hujan, maka tingkat
kejenuhan akan mencapai puncaknya sehingga tanah mudah labil dan mudah pula
untuk terjadi longsor terutama pada daerah yang berkelerengan curam. Sehingga
pada kawasan yang memiliki kandungan air tanah dangkal diberikan skor paling
tinggi yaitu 5 (lima). Sedangkan kawasan air tanah dalam berada pada wilayah
bagian timur sampai dengan selatan. Pada kawasan ini memiliki jenis akuifer
dengan tingkat produktivitas rendah. Tingkat produktivitas yang rendah berarti
debit sumur yang ada juga rendah yaitu <5 liter/detik. Sehingga pada kawasan
ini bersifat mudah menyerap air. Apabila tejadi hujan maka sebagian besar air
yang jatuh terserap (terinfiltrasi) ke dalam tanah. Keadaan demikian
menyebabkan kawasan ini bersifat stabil dan tidak rentan longsor sehingga sekor
yang diberikan adalah terendah yaitu 1 (satu).
§ Analisis Laju Infiltrasi
Untuk menentukan
laju infiltrasi dapat dilihat dari jenis tanah dan penggunaan lahan.
Berdasarkan jenis tanah di Kabupaten
Tegal, maka wilayah bagian utara dan selatan seperti Kecamatan Kramat,
Kecamatan Suradadi, dan Kecamatan Warurejo, Kecamatan Tarub, Kecamatan Talang,
Kecamatan Dukuhturi, dan Kecamatan Adiwerna memiliki tingkat infiltrasi yang
paling tinggi karena merupakan jenis tanah alluvial dan litosol. Sedangkan
tingkat infiltrasi lambat sampai dengan sedang berada pada wilayah tengah
Kabupaten Tegal karena merupakan tanah jenis grumosol dan regosol. Skor untuk
kategori lambat adalah 1 (satu), sedangkan kategori sedang 3 (tiga), dan untuk
kategori cepat 5 (lima).
Sedangkan
berdasarkan penggunaan lahannya, maka wilayah Kabupaten Tegal yang memiliki
tingkat infiltrasi tinggi adalah pada wilayah bagian selatan khususnya
kecamatan Bojong karena penggunaan lahanya berupa tegalan, dimana kerapatan
tanahnya sangat kurang sehingga sangat mudah dan cepat menyerap air. Penggunaan
lahan yang memiliki tingkat infiltrasi rendah adalah areal persawahan karena
sifatnya yang jenuh air sehingga sukar untuk menyerap air. Kawasan ini berada
pada wilayah utara dan barat kabupaten Tegal yaitu sebagian Kecamatan Kramat,
Kecamatan Suradadi, dan Kecamatan Warurejo, Kecamatan Tarub, Kecamatan Talang,
Kecamatan Dukuhturi, Kecamatan Adiwerna, Kecamatan Slawi, Kecamatan Lebaksiu,
Kecamatan Pagerbarang dan Kecamatan Margasari. Pada wilayah tersebut sebagain besar
penggunaan lahannya didominasi oleh persawahan. Skor
untuk kategori lambat adalah 1 (satu), sedangkan kategori sedang 3 (tiga), dan
untuk kategori cepat 5 (lima).
Dari kedua faktor
tersebut maka dapat dibuat data mengenai tingkat infiltrasi di wilayah
Kabupaten Tegal. Langkah yang dilakukan untuk menghasilkan data tersebut adalah
dengan mengoverlay kedua peta tersebut dengan berdasarkan skor pengaruh
terhadap infiltrasi yang terbagi menjadi lambat, sedang dan cepat. Dari hasil
overlay tersebut maka didapat peta dengan informasi baru berupa peta tingkat
infiltrasi di Kabupaten Tegal.
![](file:///C:\Users\DIKA\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
Untuk laju
infiltrasi di Kabupaten Tegal berdasarkan overlay kedua peta diatas maka
kawasan dengan tingkat infiltrasi tinggi berada pada sebagian wilayah utara
kabupaten Tegal dan juga wilayah bagian selatan yaitu Kecamatan Bojong. Kawasan
dengan tingkat infiltrasi tinggi maka diberikan skor tertinggi yaitu 5 (lima)
karena pengaruhnya terhadap terjadinya longsor semakin kuat. Sedangkan skor
terendah 1 (satu) diberikan untuk kawasan dengan tingkat infiltrasi rendah
seperti pada sebagian besar wilayah Kecamatan Kedungbanteng, Kecamatan
Margasari, dan Kecamatan Jatinegara.
§ Analisis Zona
Gempa/Patahan
Daerah patahan atau
sesar terdapat di Kecamatan Kedung Banteng dan Kecamatan Jatinegara yang
membujur dengan arah utara-selatan.
Selain itu juga terdapat di Kecamatan Bumijawa dan Kecamatan Balapulang yang
membujur ke arah Kecamatan Bojong. Keberadaan garis sesar ini mengakibatkan
pada kawasan tersebut rentan terjadinya gerakan tanah sewaktu-waktu, sehingga
mudah untuk membangkitkan terjadinya longsor.
Untuk mengetahui
kawasan yang berada dalam bahaya sesar atau patahan maka perlu dilakukan zonasi
kawasan patahan gempa. Menurut Kelarestaghi (2003), jarak optimal yang
terpengaruh oleh adanya patahan dalam terjadinya longsor adalah sejauh 5.000 m.
Demikian juga
dengan penentuan jarak gempa vulkanik. Berdasarkan karakteristik kasus yang
pernah terjadi rata-rata jarak maksimal yang dijangkau oleh gempa akibat
aktifitas vulkanik adalah antara 3000-5000m (studi kasus: Gempa di G.Dieng,
Th.2002). Jadi dapat ditentukan zona gempa di wilayah Kabupaten Tegal dengan
cara mem-buffer sejauh 5000m dari
garis patahan dan dari titik puncak gunung itu sendiri.
Dari hasil zonasi
sejauh 5000 meter dari garis patahan tersebut maka wilayah yang termasuk dalam
zona rawan gempa meliputi Kecamatan Bumijawa, Kecamatan Bojong, Kecamatan
Balapulang, Kecamatan Lebaksiu, Kecamatan Pangkah, Kecamatan Jatinegara,
Kecamatan Kedung Banteng, dan Kecamatan Suradadi. Sehingga untuk penentuan skor
maka wilayah tersebut berada pada skor tertinggi yaitu 5 (lima), sedangkan
daerah diluar zona gempa merupakan zona aman sehingga skor yang diberikan 1
(satu).
§ Analisis Penutup Lahan
Penutup lahan
berupa tegalan pada bagian selatan wilayah Kabupaten Tegal seperti Kecamatan
Bojong semakin meningkatkan kerawanan terjadinya longsor disamping
faktor-faktor lainnya. Penutup lahan berupa semak belukar dan tegalan yang
mendominasi dapat mendorong terjadinya terjadinya ketidakstabilan tanah. Hal
tersebut karena penutup lahan berupa tegalan dapat dengan mudah menyerap air
yang mengakibatkan tanah jenuh air dan labil.. Sedangkan penutup berupa semak
belukar memiliki kemampuan mengikat tanah yang tidak kuat sehingga tanah mudah
labil. Sehingga untuk kawasan bagian selatan Kabupaten Tegal yang memiliki
penutup lahan berupa semak belukar memiliki skor tertinggi yaitu 4 (empat). Sedangkan
pada beberapa wilayah yang memiliki penutup lahan berupa hutan semakin
memperkuat daya tahan dari terjadinya longsor.
Analisis Model GIS Penentuan Kawasan Rawan Longsor
§ Analisis Weighted Overlay Untuk
Penentuan Kawasan Longsor
Proses overlay dengan menggunakan fungsi weighted overlay dilakukan dengan input
data spasial terlebih dahulu yang dilengkapi dengan atribut keterangan dari
masing-masing data spasial berupa variabel penentu rawan longsor. Weighted overlay dilakukan dengan cara
memberikan pembobotan pada masing-masing variabel yang dianggap berpengaruh
terhadap longsor. Pembobotan ini dilakukan untuk menunjukkan besarnya pengaruh
dari tiap jenis variabel terhadap terjadinya longsor. Dalam weighted overlay pembobotan dinyatakan
dalam persen (%) dimana jumlah total adalah 100%.
§ Sistem Pembobotan Variabel
Pembobotan pada
tujuh jenis variabel penentu rawan longsor adalah sebagai berikut;
1.
Kelerengan (slope) memiliki bobot 30%
Pada
setiap peristiwa longsor yang terjadi selalu berada pada kawasan yang
berkelerengan curam. Suatu kawasan dengan faktor-faktor selain kelerengan yang
sangat rentan longsor tidak begitu berpotensi terjadi longsor apabila berada
pada wilayah yang datar. Namun sebaliknya, walaupun suatu kawasan dengan
faktor-faktor selain kelerengan tidak rentan terhadap longsor (stabil), namun
bila kelerengan kawasan tersebut sangat curam maka akan sangat berpotensi terhadap terjadinya longsor.
Sehingga dalam melakukan pembobotan maka kelerengan memiliki nilai tertinggi
yaitu sebesar 30%.
2.
Curah hujan dan Geologi
masing-masing memiliki bobot 20%
Pemicu
utama terjadinya longsor biasanya adalah hujan deras yang terjadi dalam selang
waktu cukup lama. Dalam beberapa peristiwa longsor yang terjadi sebagian besar
didahului oleh hujan deras dan juga keberadaan formasi geologi yang bersifat
labil dan mendukung terjadinya longsor. Namun dilihat dari pengaruhnya, faktor
ini masih tetap dibawah peringkat kelerengan yang memiliki bobot paling tinggi,
sehingga pembobotan untuk variabel curah hujan dan geologi adalah 20%.
3.
Laju Infiltrasi dan
penutup lahan (land cover) memiliki
bobot 10 %
Laju infiltrasi memiliki pengaruh yang cukup besar bagi terjadinya longsor
karena terkait dengan kejenuhan tanah akan kandungan air. Demikian juga dengan
penutup lahan yang turut memberikan pengaruh bagi terjadinya longsor. Perlakuan
yang kurang baik pada suatu lahan dapat semakin meningkatkan potensi longsor
yang terjadi. Namun pengaruh yang ditimbulkan tidak begitu besar seperti
kelerengan, curah hujan dan geologi sehingga pembobotan untuk variabel laju
infiltrasi dan penutup lahan lebih kecil dari ketiganya yaitu sebesar 10%.
4.
Zona gempa dan kandungan
air tanah memiliki bobot 5%
Keberadaan zona gempa menyebabkan adanya potensi gangguan kestabilan pada
suatu kawasan yang rentan terjadi longsor. Apabila zona tersebut aktif (terjadi
pergeseran/ pergerakan) maka sangat berpotensi mengakibatkan longsor bagi
kawasan yang memang sudah rentan terjadi longsor. Dari beberapa peristiwa
longsor yang terjadi, zona gempa dan kandungan air tanah juga turut berpengaruh
walaupun kecil. Kandungan air tanah tidak begitu berpengaruh kuat sebagai
pemicu longsor, namun apabila ditambah dengan variabel pemicu longsor yang
lainnya akan sangat berpengaruh bagi timbulnya longsor. Kedua faktor tersebut
bersifat pasif, artinya tidak setiap saat dapat menimbulkan kerawanan, sehingga
pembobotan untuk kedua variabel ini adalah sebesar 5%.
![](file:///C:\Users\DIKA\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image003.gif)
TABEL 9
KLASIFIKASI TINGKAT
KERAWANAN LONGSOR
SKOR
|
KATEGORI
|
1
|
Aman
|
2
|
Aman
|
3
|
Agak Rawan
|
4
|
Sangat Rawan
|
5
|
Sangat Rawan
|
Sumber: Hasil Analisis Penyusun
GAMBAR 6
PETA TINGKAT KERAWANAN
LONGSOR KABUPATEN TEGAL
![](file:///C:\Users\DIKA\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image007.jpg)
Sumber: Hasil Analisis Penyusun
Evaluasi Model
Evaluasi
model dilakukan melalui dua cara yaitu observasi lapangan secara langsung
(pengambilan gambar kawasan bekas longsor) dan juga dengan mengkaji
peristiwa-peristiwa bencana longsor yang telah terjadi sebelumnya di Kabupaten
Tegal.
Dari
hasil observasi lapangan yang dilakukan, beberapa kawasan bekas longsor
merupakan daerah yang termasuk dalam zona sangat rawan longsor sesuai dengan
hasil model. Kawasan bekas longsor yang diobservasi langsung yaitu di Desa
Guci-Kecamatan Bumijawa, Desa Bukateja-Kecamatan Balapulang, dan Desa
Danasari-Kecamatan Jatinegara.
Sedangkan
dari hasil kajian peristiwa longsor yang telah terjadi sebelumnya sebagian
besar daerah-daerah yang terjadi longsor termasuk dalam kawasan sangat rawan
longsor sesuai dengan yang dihasilkan model. Seperti peristiwa longsor yang
terjadi di Desa kalibakung-Kecamatan Balapulang, Desa Padasari-Kecamatan
Jatinegara, dan Desa Batumirah-Kecamatan Bumijawa. Selain itu juga dilakukan
kajian peristiwa longsor yang terjadi di daerah sekitar perbatasan, yang secara
geografis merupakan satu kesatuan kawasan dengan daerah yang dianggap sangat
rawan longsor.
![](file:///C:\Users\DIKA\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image014.gif)
Validasi Model
TABEL 10
UJI VALIDASI MODEL
NO
|
METODE EVALUASI
|
JML SAMPEL
|
KATEGORI
|
|
Benar
|
Salah
|
|||
1
|
Survey Lapangan
(pengambilan gambar)
|
6
|
5
|
1
|
2
|
Media Surat
|
8
|
7
|
1
|
Jumlah
|
14
|
12
|
3
|
Sumber: Hasil Analisis Penyusun
![]() |
|
= 12/14 x 100%
= 0.86
Dapat
disimpulkan bahwa nilai validasi model adalah 0.86, yang berati dapat diterima.
Semakin mendekati angka 1, maka model dapat dikatakan mendekati sempurna.
Analisis Arithmetic
Overlay Untuk Evaluasi Rencana Tata Ruang (RTR)
Arithmathic
overlay digunakan untuk mengoverlay peta kawasan rawan longsor yang telah dihasilkan dari weighted overlay dengan rencana tata ruang yang
ada. Pada analisis ini tidak perlu
dilakukan pembobotan pada variabelnya karena hanya bersifat membandingkan.
TABEL 11
SKORING TINGKAT KERAWANAN
LONGSOR
JENIS PETA
|
KETERANGAN
|
SKOR
|
Tingkat Kerawanan Longsor
|
Sangat Rawan
|
5
|
Agak Rawan
|
3
|
|
Aman
|
1
|
|
Rencana Tata Ruang
|
Permukiman, tegalan, lahan kosong, penambangan
|
5
|
Hutan, perkebunan, sawah, dan
penggunaan lainnya
|
1
|
Sumber: Hasil Analisis Penyusun
GAMBAR 8
PETA HASIL EVALUASI
RENCANA TATA RUANG (RTR)
![](file:///C:\Users\DIKA\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image018.jpg)
Sumber: Hasil Analisis
Penyusun
Dari hasil overlay tersebut dapat diketahui bahwa terdapat beberapa zona
yang tidak sesuai dengan keberadaan daerah rawan longsor. Rencana
penggunaan lahan yang tidak sesuai tersebut berupa permukiman atau kampung.
Permukiman tersebut berada pada kawasan yang rawan longsor. Ketidaksesuaian
tersebut terjadi karena memang sudah terdapat beberapa kawasan permukiman pada
wilayah yang rawan longsor.
Kawasan Rawan Longsor Sebagai Masukan Rencana Tata Ruang
Penanganan untuk daerah dengan kategori sangat rawan longsor khususnya
kawasan yang memiliki ketidaksesuaian penggunaan lahan dapat dilakukan melalui
rekayasa fisik bangunan dan juga rekayasa vegetatif.
a. Rekayasa Bangunan Fisik
Kawasan
dengan kategori sangat rawan longsor memerlukan adanya rekayasa fisik untuk
perencanaannya, sehingga pemanfaatan lahan seperti permukiman yang telah ada
dapat diminimalisir tingkat kerawanan bencananya.
GAMBAR 9
CONTOH REKAYASA FISIK
BANGUNAN PENAHAN LONGSOR
![]() |
Sumber: ( Foto: F. Agus dan Widianto) dalam
Pedoman Umum Budidaya Pertanian di Lahan Pegunungan
b. Rekayasa vegetatif
Keberadaan vegetasi dengan struktur dan komposisinya yang beragam dapat
bermanfaat bagi kehidupan manusia yaitu sebagai pengendali daur air. Mengurangi beban mekanik pohon-pohon yang besar-besar yang berakar
dangkal dari kawasan yang curam dan menumpang di atas lapisan impermeabel.
GAMBAR 10
CONTOH REKAYASA
VEGETATIF PENGENDALIAN LONGSOR
![](file:///C:\Users\DIKA\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image023.gif)
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang dilakukan sebelumnya maka
dapat diambil beberapa kesimpulan dari penelitian ini, antara lain
a. Model penentuan kawasan
rawan longsor mencakup beberapa variabel yaitu kelerengan, geologi, curah
hujan, kandungan air tanah, laju infiltrasi, zona gempa, dan penutup lahan.
b. Output model merupakan
hasil overlay dari tujuh variabel skoring yang terdiri dari atas variabel
kelerengan, geologi, curah hujan, kandungan air tanah, tingkat infiltrasi, zona
gempa dan penutup lahan. Besarnya nilai skoring untuk tiap-tiap variabel adalah
berkisar antara 1 sampai dengan 5, dengan ketentuan semakin besar skor maka
semakin besar pula tingkat pengaruhnya terhadap bencana. Selain skoring juga
dilakukan pembobotan terhadap masing-masing variabel berdasarkan pengaruhnya
terhadap terjadinya bencana. Pembobotan paling besar diberikan pada variabel kelerengan
yaitu sebesar 30%, kemudian untuk variabel geologi dan curah hujan sebesar 20%,
variabel tingkat infiltrasi dan penutup lahan sebesar 10% dan variabel zona
gempa dan kandungan air tanah sebesar 5%.
c. Dari hasil uji validasi
model didapatkan nilai validasi yaitu 0.86 dalam skala 0-1, dimana semakin
mendekati 1 maka semakin sempurna.
d.
Berdasarkan
aplikasi model yang diterapkan di Kabupaten Tegal, dihasilkan peta tingkat
kerawanan longsor, diketahui bahwa 4% lahan dari keseluruhan luas wilayah
Kabupaten Tegal merupakan kawasan yang rawan longsor dengan kategori sangat
rawan. Kawasan rawan longsor dengan kategori sangat rawan tersebut kurang lebih
memiliki luasan 3.600 Ha. Kawasan tersebut meliputi:
TABEL 12
PEMBAGIAN KAWASAN MENURUT TINGKAT KERAWANAN LONGSOR
DI KABUPATEN TEGAL
NO
|
KATEGORI
|
KECAMATAN
|
DESA
|
1
|
KAWASAN SANGAT RAWAN
|
Bojong
|
Dukuh Tengah, Rembul, Tuwel, Kedawung, Gunung
Jati, Kalijambu, Cikura, dan Danasari.
|
Bumijawa
|
Carul,
Cawitari, Soka Tengah, Sokasari, Sumbaga, Pager Kasih, Jejeg, Gunung Agung,
Cempaka, Dukuh Benda, Batumirah, Sigedong, Guci, dan Bumijawa
|
||
Balapulang
|
Bukateja, Kalibakung, Cilongok, dan
Tembongwah.
|
||
Jatinegara
|
Padasri,
Kedungwungu, Setail dan Gantungan.
|
||
Margasari
|
Desa Danaraja
|
||
2
|
KAWASAN AGAK RAWAN
|
Warureja
|
Hampir seluruh desa di
Kecamatan Warurejo dan Kecamatan Kedungbanteng merupakan kategori agak rawan
|
Kedungbanteng
|
|||
Jatinegara
|
|||
Balapulang
|
|||
Margasari
|
|||
Bojong
|
|||
Bumijawa
|
|||
3
|
KAWASAN AMAN
|
Bojong
|
Hampir
seluruh desa merupakan kategori aman
|
Pangkah
|
|||
Slawi
|
|||
Dukuhwaru
|
|||
Adiwerna
|
|||
Dukuhturi
|
|||
Talang
|
|||
Tarub
|
|||
Kramat
|
|||
Lebaksiu
|
|||
Warureja
|
REKOMENDASI
Rekomendasi
yang dihasilkan dalam penelitian ini antara lain
a.
Peranan data sangatlah
penting disamping faktor kriteria dan pembobotan yang dilakukan.
b.
Rencana tata ruang selalu
dibuat dengan mempertimbangkan berbagai faktor salah satunya adalah kawasan
rawan bencana.
c.
Penelitian ini sebagai
awal dari penelitian yang perlu dilakukan selanjutnya seperti menentukan
tingkat infiltrasi suatu kawasan yang lebih akurat, sehingga data yang menjadi
input juga semakin akurat dan menghasilkan output yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar